Selasa, 25 September 2012

21 Strategi Mengajar Ala Nabi Muhammad (Resensi Buku)


21 Strategi Mengajar Ala Nabi Muhammad (Resensi Buku)


Resensi Buku
Mencetak para Juara dalam 12 Bulan
21 Strategi Mengajar Ala Nabi Muhammad

Penulis                 : Khairunnas
Penerbit               : PT Elex Media Komputindo
Jumlah Halaman   : 202
Tahun                  : 2011

Adalah benar bahwa Nabi Muhammad shollallohu alaihi wa sallam itu bukan hanya seorang panglima perang yang hebat, bukan hanya seorang kepala rumah tangga ideal, tapi beliau juga seorang pengajar yang sukses. Dari madrasah didikan langsung beliau muncullah Abu Hurairah, seorang yang masuk Islam ketika berusia 40 tahun dan akhirnya menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi. Dari pengajaran beliau dikenallah Ali bin Abi Thalib, seorang yang mendapat julukan “gerbangnya ilmu”. Kita juga mengenal Ibnu Mas’ud yang ahli dalam bidang tafsir al-Quran itu. Sehingga selayaknyalah kita mencoba untuk mengetahui bagaimana metode pengajaran yang diterapkan oleh Rosulullah dan mencoba untuk menerapkannya dalam kehidupan kita di masa kini.

Khairunnas dalam bukunya yang berjudul Mencetak para Juara dalam 12 Bulan: 21 Strategi Mengajar Ala Nabi Muhammad ini mencoba untuk menelusuri bagaimana Nabi Muhammad mengajar para sahabat sehingga bangsa Arab yang pada waktu itu dikenal dengan bangsa yang “buta” baca tulis itu berubah menjadi salah satu pusat peradaban dunia yang sangat berpengaruh.

Secara umum buku ini terbagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama berisi pendahuluan yang mencakup konsep dasar pendidikan dalam Islam, Rosululloh sebagai profil seorang guru paripurna serta sekolah pada masa rosululloh. Bagian kedua menjelaskan secara terperinci 21 strategi dan metode yang pernah diterapkan oleh Rosululloh ketika memberi pengajaran kepada para sahabat.

Di bagian pertama, selain menjelaskan tentang betapa pentingnya peran seorang guru dalam proses pendidikan karena guru lah yang secara langsung dan intensif bertatap muka dengan murid sebagai aktor utama dalam dalam pendidikan, Khairunnas juga menggarisbawahi bahwa tujuan akhir pendidikan dalam konsep Islam adalah untuk membentuk pribadi manusia yang mengabdi kepada Alloh ta’ala. Ia juga menyatakan bahwa keluarga dan negara sama-sama mempunyai peran yang besar dalam proses pendidikan. Tidak lupa ia pun memberikan bukti betapa Rosululloh sangat memperhatikan aspek pendidikan. Contohnya ketika Rosululloh menjadikan “mengajar baca-tulis” sebagai tebusan bagi tawanan perang badr. Khairunnas juga menjelaskan bahwa guru adalah penerus para nabi karena para nabi dahulu juga punya misi “yu’allimuhumul kitaba wal hikmah”. Guru adalah penerus nabi karena nabi juga seorang pengajar bagi umatnya. Oleh karena itu seorang guru hendaknya menjadi teladan bagi muridnya dalam berbagai aspek kehidupan, bukan hanya di dalam kelas, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Khairunnas menyatakan bahwa Rosulullah adalah profil guru teragung yang pernah dikenal di muka bumi ini dengan kriteria antara lain; ikhlash dalam mengajar, berprilaku jujur, walk the talk, adil, tawadlu, berani, memiliki jiwa humor, mampu mengontrol emosi, mampu menjaga lisan, dan bermusyawarah. Lebih jauh penulis menyampaikan bahwa pada zaman Nabi, majlis-majlis pembelajaran dapat ditemui di rumah (bait al arqom), masjid, shuffah, dan juga kuttab. Hal ini patut kita teladani terutama dalam hal menjadikan rumah sebagai tempat pembelajaran yang nyaman dan efektif bagi ayah, ibu, dan anak-anak karena bagaimanapun rumah memang merupakan madrasah yang pertama bagi anggota keluarga.

Di bagian kedua Khairunnas merumuskan 21 strategi mengajar yang pernah diterapkan oleh Rosululloh berdasarkan hadits-hadits yang bisa kita kaji sampai hari ini. Ke 21 strategi tersebut adalah
1.       mendorong murid menjadi pembelajar. Rosululloh menekankan bahwa menuntut ilmu itu adalah ibadah dan harus dilakukan sepanjang hayat.
2.       menciptakan suasana belajar yang nyaman. Sebelum memberikan pelajaran seringkali Nabi meminta para sahabat untuk tenang dan fokus dengan menarik perhatian mereka. Nabi juga memotivasi para sahabat agar memperhatikan apa yang beliau ajarkan.
3.       menciptakan pembelajaran yang aktif interaktif.
4.       metode belajar praktik. Para sahabat tidak begitu kesulitan untuk melaksanakan apa yang Rosululloh ajarkan karena sebelum mengajarkan, Roasululloh sudah mempraktikkannya dulu.
5.       mengajar sesuai kemampuan siswa. Dalam beberapa kesempatan, Rosululloh memberikan jawaban yang berbeda-beda untuk pertanyaan yang sama karena penanyanya yang berbeda.
6.       metode diskusi.
7.       mengajar dengan cerita. Seringkali Nabi bercerita akan keadaan suatu kaum atau seseorang.
8.       mengajar dengan perumpamaan. Misalnya ketika menjelaskan derajat dunia di hadapan Alloh ta’ala, Nabi mengumpamakan bahwa dunia lebih hina dari pada bangkai kambing yang jelek; kecil dan cacat.
9.       mengajar dengan menggunakan bahasa tubuh.
10.   mengajar dengan menggunakan gambar dan multi media. Contoh: Rosuslulloh pernah menggambar bujur sangkar dan menarik garis lurus dari dalam persegi tersebut hingga keluar. Kemudian membuat garis-garis kecil di sekitar garis lurus itu.
11.   memberikan penjelasan yang rasional dan argumentatif. Misalnya. Kenapa ketika ada alat yang masuk ke dalam minuman Nabi malah mengajurkan untuk menenggelamkannya kemudian baru membuangnya? Kenapa tidak langsung dibuang? Karena di salah satu sayap lalat itu ada penyakit dan di sayap yang lain ada obat.
12.   memberikan kesempatan kepada murid untuk melakukan self-reflection.
13.   menghafal dengan cara menyenangkan.
14.   mengajar secara pointer.
15.   metode tanya jawab.
16.   memberikan pertanyaan.
17.   memberikan pertanyaan yang menantang kepada murid.
18.   memberikan reward kepada murid.
19.   pertukaran pelajar.
20.   surat sebagai media pembelajaran. Nabi pernah berkirim surat yang isinya adalah ajakan untuk memeluk agama Islam kepada para raja yang berkuasa di zaman itu.
21.   mengajar dengan aktiva dimensi ketiga.

Satu hal yang menurut saya perlu diperbaiki dalam buku ini adalah pemilihan diksi judul utama buku “mencetak para juara dalam 12 bulan”. Penulis sama sekali tidak menjelaskan judul ini sama sekali; kenapa judul yang dipilih seperti itu, apa makna dan maksud judul itu, kenapa harus ada kata 12 bulan, dan lain-lain. Menurut saya justru lebih baik jika sub judul yang berbunyi “21 strategi mengajar ala nabi Muhammad” dijadikan sebagai judul utama karena esensi dari buku ini adalah penjelasan tentang hal tersebut.
Selain itu ada beberapa poin yang menurut penulis hal itu disebut sebagai strategi mengajar yang dipraktekkan Nabi tapi sebenarnya penulis –kelihatan- terlalu memaksakan konsep yang dia rumuskan. Contoh: poin ke 13; menghafal dengan cara menyenangkan. Tetapi kenyataannya penulis malah memaparkan teknik menghafal yang biasa kita kenal dengan Super Memori seperti teknik lokasi dan plesetan kata. Sementara itu penulis memaparkan hadit nabi yang menunjukkan bahwa nabi mengulang pernyataan beliau sebanyak tiga kali agar bisa dihafal oleh para sahabat. Ini jelas terlalu memaksakan konsep. Lebih jauh, penulis mengambil resiko dengan menyampaikan hadits yang oleh kebanyakan ulama disebut sebagai hadits dlo’if untuk mengklaim bahwa hal tersebut merupakan strategi pengajaran yang diterapkan Nabi Muhammad. Misalnya hadits “tuntutlah Ilmu sampai ke negeri China”. Imam Adz Dzahabi menyebutkan bahwa para ulama telah ijma’  (aklamasi) atas kedhaifan hadits ini.

Terlepas dari berbagai kekurangan tersebut, buku ini perlu diapresiasi karena telah berusaha untuk menyampaikan kepada kita umat islam dan manusia pada umumnya tentang strategi pengajaran yang pernah diterapkan oleh seorang manusia yang oleh Michael H. Hart disebut sebagai manusia yang paling berpengaruh di muka bumi. Buku ini layak dibaca oleh para guru dan orang tua yang ingin mendidik murid dan anak mereka dengan cara seperti apa yang pernah dicontohkan oleh Rosululloh. Kita tentu tidak bisa menyangkal lagi bahwa Rosululloh adalah pendidik dan pengajar tersukses yang pernah di kenal di dalam sejarah umat manusia. Pengaruh pengajaran beliau tidak hanya membekas kuat di dalam diri para sahabat; murid langsung beliau, tetapi juga para generasi pasca sahabat seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Malik , Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, kemudian generasi selanjutnya seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Ibnu Khaldun, Imam al-Ghozali, Ar-Rozi, dan lain-lain. (tj)

Dasar Pengelolaan Kelas


Pengelolaan kelas yang dapat menciptakan interaksi belajar mengajar secara efektif dan efisien mempunyai dasar yang kuat dan jelas (Roestiyah, 1989: 75).
a. Dasar Religius
Agar pendidik berhasil dalam mengelola anak didiknya, maka ia harus mempertimbangkan metode apa yang harus dipakainya, melihat waktu, serta kondisi yang ada. Karena hal itu akan menunjang keberhasilan dalam pengelolaan kelas. Sebagaimana hadist nabi S.A.W yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِي اْلأَيَّامِ كَرَاهَةَ السَّآمَّةِ عَلَيْنَا (البخاري)
“Nabi S.A.W mengajari kami dengan memlih hari (waktu) yang tepat, sehingga kami tidak merasa bosan” (HR. Bukhori)

b. Dasar Sosiologis dan Antropologis
Pengelolaan kelas merupakan kegiatan bersama antara guru, pelajar, maupun komponen yang terkait dalam proses pembelajaran. Tanpa keaktifan, partisipasi, kerja sama, maka tujuan pengajaran akan sukar dicapai. Demikian corak dan bentuk kerja sama sangat erat dengan sosio-antropologis setempat pada suatu bangsa.

c. Dasar Filosofis
Dalam pengelolaan kelas harus didasarkan dan berpedoman pada falsafah hidup yang tepat, dan yang dinamik. Seperti di Indonesia, yang menjadi dasar serta pedoman dalam manajemen kelas adalah Pancasila, sebab pancasila merupakan falsafah hidup (way of life) bangsa Indonesia. Maka pengelolaan atau manajemen kelas harus berdasarkan dan dilaksanakan sesuai isi sila-sila Pancasila.

d. Dasar Psikologis
Pelaksanaan manajemen kelas dalam interaksi belajar mengajar tidak dapat lepas dari faktor psikologi guru, siswa terutama, maupun komponen lain yang berkaitan. Masalah psikologis yang ikut mendasari pengelolaan kelas adalah:
1. Masalah motivasi
Dengan memilih serta melaksanakan motivasi yang tepat agar dapat mencapai tujuan dengan lancar dan penuh kegembiraan. Misalnya motivasi siswa agar giat belajar.
2. Masalah belajar
Memilih, menerapkan dan mengembangkan teori belajar yang tepat sehingga belajar secara efisien, efektif dan produktif.
3. Masalah individu atau pribadi
Di dalam pengelolaan kelas, masalah individual perlu diperhatikan, di samping masalah sosial.

e. Dasar Manajemen
Sebagai landasan dalam pengelolaan interaksi belajar mengajar yaitu teori manajemen, pengelola atau guru harus dapat menerapkan teori dalam praktik dengan tepat. Dasar-dasar manajemen, pengertian manajemen dengan jelas dan tepat dilaksanakan.

f. Dasar Komunikasi
Komunikasi yang tepat akan melancarkan interaksi. Pilihan komunikasi secara langsung atau menggunakan media tertentu.

g. Dasar Kurikulum
Dalam manajemen interaksi belajar mengajar di kelas, tidak dapat dilupakan dasar kurikulum. Dasar ini dapat disebut dasar content. Apa yang akan menjadi isi interaksi belajar mengajar yang berlangsung.

h. Dasar Mengajar
Hal ini penting sekali menetapkan teori mengajar yang bagaimana digunakan sesuai dengan situasi kondisi serta akan menjadi tercapainya tujuan.

i. Dasar Evaluasi
Suatu manajemen tidak dapat melupakan evaluasi. Sesuatu kegiatan akan efektif apabila disertai evaluasi yang tepat agar dapat dikembangkan suatu manajemen interakasi belajar mengajar yang tepat (Roestiyah, 1989: 75-79).

Dari dasar-dasar itu dapat dirangkumkan bahwa pengelolaan kelas mengaplikasikan beberapa prinsip ilmiah agar dalam manajemen interaksi belajar mengajarnya berjalan dengan tepat, efisien, efektif dan produktif dalam mencapai tujuan.

DISIPLIN MENURUT ISLAM



DISIPLIN MENURUT ISLAM 

Oleh: H. Endang Komara

Disiplin adalah kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang untuk tunduk kepada keputusan, perintah dan peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, disiplin adalah sikap mentaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan tanpa pamrih.
Dalam ajaran Islam banyak ayat Al Qur’an dan Hadist yang memerintahkan disiplin dalam arti ketaatan pada peraturan yang telah ditetapkan, antara lain surat An Nisa ayat 59:



“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada rasul-Nya dan kepada Ulil Amri dari (kalangan) kamu …” (An Nisa: 59)

Disiplin adalah kunci sukses, sebab dalam disiplin akan tumbuh sifat yang teguh dalam memegang prinsip, tekun dalam usaha maupun belajar, pantang mundur dalam kebenaran, dan rela berkorban untuk kepentingan agama dan jauh dari sifat putus asa. Perlu kita sadari bahwa betapa pentingnya disiplin dan betapa besar pengaruh kedisiplinan dalam kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa maupun kehidupan bernegara.

Disiplin dalam penggunaan waktu
Disiplin dalam penggunaan waktu perlu diperhatikan dengan seksama. Waktu yang sudah berlalu tak mungkin dapat kembali lagi. Demikian pentingnya waktu sehingga berbagai bangsa menyatakan penghargan terhadap waktu. Orang Inggris mengatakan Time is money (waktu adalah uang), peribahasa Arab mengatakan”


(waktu adalah pedang) atau waktu adalah peluang emas, dan kita orang Indonesia mengatakan: ‘’sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tak berguna’’.
Tak dapat dipungkiri bahwa orang-orang yang berhasil mencapai sukses dalam hidupnya adalah orang-orang yang hidup teratur dan berdisiplin dalam memanfaatkan waktunya. Disiplin tidak akan datang dengan sendirinya, akan tetapi melalui latihan yang ketat dalam kehidupan pribadinya.
Ada empat cara agar kita tidak menjadi orang-orang yang melalaikan waktu, antara lain: (1) beriman, (2) beramal saleh, (3) saling berwasiat dalam kebenaran, (4) saling berwasiat dalam kesabaran.
Inilah yang dijelaskan dalam ayat terakhir surat Al-Ashr. ‘’Illal ladziina amanu wa’amilushshaalihaati watawaahau bish shabr, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan menasihat-menasihati supaya menaati kebenaran serta menasihat-menasihati supaya tetap dalam kesabaran.’’


1. Beriman
Iman, secara bahasa bermakna “membenarkan”. Maksudnya membenarkan segala hal yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw., yang pokok-pokoknya tersistematisasikan dalam rukun iman. Iman sifatnya abstrak, dimensinya batiniah alias tidak terlihat. Karenanya, yang paling tahu apakah iman seseorang itu kuat atau lemah hanyalah Allah swt. Zat yang Maha Mengetahui masalah ghaib. Walaupun iman itu abstrak, namun Allah swt. Menyebutkan sejumlah ciri orang-orang yang imannya benar. Firman-Nya, ‘’Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka karenanya dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. Orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan pada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya serta ampunan dan nikmat yang mulia.’’ (Q.S. Al Anfal 8:2-4). Iman itu bersifat fluktuatif, artinya kadang-kadang meningkat dan kadang-kadang menurun. Dalam suatu riwayat, disebutkan bahwa Al immanu yaziidu wa yanqushu (iman itu dapat bertambah dan bisa juga berkurang). Oleh sebab itu kita wajib merawat iman agar tetap prima supaya tidak terjerumus menjadi orang-orang yang merugi.



2. Beramal Saleh
Kedua yang bisa menyelamatkan manusia dari kerugian adalah beramal saleh. Kata amiluu berasal dari kata amalun artinya pekerjaan yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Kata shalihaat berasal dari kata shaluha artinya bermanfaat atau sesuai. Jadi, amal saleh adalah aktivitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa pekerjaan itu memberi manfaat untuk dirinya ataupun untuk orang lain. Selain itu, pekerjaan tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan. Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan amal saleh sebagai perbuatan yang berguna bagi diri pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan. Jadi, karya atau kreativitas apapun yang kita lakukan dengan penuh kesadaran demi kemaslahatan diri sendiri, keluarga ataupun masyarakat, dapat disebut amal saleh. Harus diingat, amal saleh itu harus dibarengi dengan iman, karena amal saleh tanpa dilandasi iman kepada Allah swt. akan menjadi sia-sia, ‘’Dan Kami hadapi segala amal baik yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan”. (Q.S. Al Furqan 25:23)

3. Saling Berwasiat dalam Kebenaran
Watawaashau bil haq, Orang yang saling berwasiat dalam kebenaran. Berarti saling menasihati untuk berpegang teguh pada kebenaran. Kata Al haq di sini berarti kebenaran yang pasti, yaitu Ajaran Islam. Maka syarat agar manusia terhindar dari kerugian adalah mengetahui hakikat kebenaran Islam, mengamalkannya, dan menyampaikannya kepada orang lain. Siapa saja yang tidak mau mengajak manusia lain untuk berpegang pada kebenaran Islam setelah ia mengetahuinya, ia termasuk dalam golongan yang merugi.
Mengajak orang lain berada di jalan kebenaran bukan sekadar tugas para kiai, ulama, ustadz ataupun lembaga dakwah, namun merupakan kewajiban setiap individu. Rasulullah bersabda, ‘’Siapa yang melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan kekuasaan. Apabila tidak mampu, maka ubahlah dengan lisan, dan kalau tidak mampu juga, maka ubahlah dengan hati, dan itulah iman yang paling lemah.’’
Kewajiban ini ditujukan kepada setiap individu muslim, kapan dan di mana pun melihat kemunkaran, kita wajib mengubahnya sesuai kadar kemampuan kita. Saling menasihati untuk berpegang teguh pada kebenaran harus dilakukan dengan ilmu, penuh kearifan, dan menggunakan kata-kata yang santun, sebagaimana Firman-Nya, “Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S An-Nahl 16:125)

4. Saling Berwasiat dalam Kesabaran
Wa tawaashau bishshabr, saling menasihati supaya tetap dalam kesabaran. Kesabaran adalah suatu kekuatan jiwa yang membuat orang menjadi tabah menghadapi berbagai ujian. Sabar begitu penting untuk kita miliki. Allah swt. menyebut sabar sebanyak 103 kali dalam Al-Qur’an dengan berbagai konteks. Jiwa sabar harus kita miliki karena ujian akan selalu mewarnai kehidupan kita, ‘’Dan sungguh Kami akan berikan ujian padamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikan kabar gembira orang-orang yang bersabar…” (Q.S. Al-Baqarah 2:155).



Disiplin dalan beribah.
Menurut bahasa, ibadah berarti tunduk atau merendahkan diri. Pengertian yang lebih luas dalam ajaran Islam, ibadah berarti tunduk dan merendahkan diri hanya kepada Allah yang disertai dengan perasaan cinta kepada-Nya. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa disiplin dalam dalam beribah itu mengandung dua hal: (1) berpegang teguh apa yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintah atau larangan, maupun ajaran yang bersifat menghalalkan, menganjurkan, sunnah, makruh dan subhat; (2) sikap berpegang teguh yang berdasarkan cinta kepada Allah, bukan karena rasa takut atau terpaksa. Maksud cinta kepada Allah adalah senantiasa taat kepada-Nya. Sebagaimana Allah berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 31:




‘’Katakanlah: ‘’Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran 31).

Sebagaimana telah kita ketahui, ibadah itu dapat digolongkan menjadi dua yaitu: (1) Ibadah Mahdah (murni) yaitu bentuk ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah; (2) Ibadah Ghaira Mahdah (selain mahdah), yang tidak langsung dipersembahkan kepada Allah melainkan melalui hubungan kemanusiaan.
Dalam ibadah mahdah (disebut juga ibadah khusus) aturan-aturannya tidak boleh semaunya akan tetapi harus mengikuti aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Orang yang mengada-ada aturan baru misalnya, shalat subuh 3 raka’at atau puasa 40 hari terus-menerus tanpa berbuka, adalah orang yang tidak disiplin dalam ibadah, karena tidak mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, ia termasuk orang yang berbuat bid’ah dan tergolong sebagai orang yang sesat.
Dalam ibadah Ghaira mahdah (disebut juga ibadah umum) orang dapat menentukan aturannya yang terbaik, kecuali yang jelas dilarang oleh Allah. Tentu saja suatu perbuatan dicatat sebagai ibadah kalau niatnya ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena riya ingin mendapatkan pujian orang lain.

Disiplin dalam bermasyarakat.
Hidup bermasyarakat adalah fitrah manusia. Dilihat dari latar belakang budaya setiap manusia memiliki latar belakang yang berbeda. Karenanya setiap manusia memiliki watak dan tingkah laku yang berbeda. Namun demikian, dengan bermasyarakat (animal education/hayawunnatiq), mereka telah memiliki norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan serta peraturan yang disepakati bersama yang harus dihormati dan dihargai serta ditaati oleh setiap anggota masyarakat tersebut.
Agama Islam mengibaratkan anggota masyarakat itu bagaikan satu bangunan yang di dalamnya terdapat beberapa komponen yang satu sama lain mempunyai fungsi yang berbeda-beda, manakala salah satu komponen rusak atau binasa. Hadist Nabi SAW menegaskan:
“Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan bangunan yang sebagian dari mereka memperkuat bagian lainnya. Kemudian beliau menelusupkan jari-jari tangan sebelah lainnya’’. (H.R. Bukhori Muslkim dan Turmudzi)

Disiplin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negara adalah alat untuk memperjuangkan keinginan bersama berdasarkan kesepakatan yang dibuat oleh para anggota atau warganegara tersebut. Tanpa adanya masyarakat yang menjadi warganya, negara tidak akan terwujud. Oleh karena itu masyarakat merupakan prasyarat untuk berdirinya suatu Negara. Tujuan dibentuknya suatu negara adalah seluruh keinginan dan cita-cita yang diidamkan oleh warga masyarakat dapat diwujudkan dan dapat dilaksanakan. Rasulullah bersabda yang artinya: ‘’Seorang muslim wajib mendengar dan taat, baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiat. Apabila ia diperintah mengerjakan maksiat, maka tidak wajib untuk mendengar dan taat’’. (H.R. Bukhori Muslim)