Senin, 16 April 2012

Musik Itu Haram Menurut Imam 4 Madzhab

Musik itu Haram Menurut Imam 4 Madzhab

Sesungguhnya Allah -Subhanahu wa ta’ala- telah menciptakan makhluk-Nya, memerintahkan mereka untuk taat kepada-Nya, melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya, menjelaskan kepada mereka akan buah dari ketaatan berikut jalan-jalannya, serta memberikan peringatan kepada mereka dari maksiat dan akibatnya. Iblis laknatullah telah mengetahui bahwa poros segala urusan adalah hati, jika hati tersebut sehat dan istiqamah, maka istiqamah pulalah seluruh anggota tubuh di atas ketaatan kepada rabbnya, dan jika hati itu bengkok, maka menyimpanglah seluruh anggota tubuh kepada jalan kebinasaan. Maka hati adalah raja, sementara anggota badan adalah bala tentaranya, jika sang raja baik, maka bala tentarapun menjadi baik, namun jika sang raja buruk, bala tentaranyapun menjadi buruk.

Ketahuilah, mudah-mudahan Allah -Subhanahu wa ta’ala- memberikan rahmat-Nya kepadaku dan anda sekalian, bahwa termasuk musibah yang merata, yang dengannya hati diuji dengan keras adalah rasa cinta terhadap nyanyian dan musik. Mendengarkan nyanyian menjadi lebih dicintai oleh mayoritas manusia daripada mendengar ayat-ayat al-Qur`an. Seandainya salah seorang diantara mereka mendengarkan al-Qur`an dari awal sampai akhir maka tidaklah al-Qur`an itu akan menggugah hatinya dengan tenang. Tetapi jika dibacakan kepadanya nyanyian-nyanyian, serta alunan musik maka pendengaranmereka terketuk dan hati mereka tergetar dan bergoncang. Maka subhanallah, Maha Suci Allah dari orang yang terfitnah ini, yang telah menyia-nyiakan bagian kedekatannya kepada Allah Allah -Subhanahu wa ta’ala-, dan rela dengan bagian kesesatan syetan.

Kalimat-kalimat berikut ini adalah sebuah nasihat untuk memberikan peringatan dan kasih sayang. Marilah kita bersama-sama memperhatikan jalan hidayah dan petunjuk yang berada didalam al-qur`an dan sunnah, karena sebaik-baik perkataan adalah firman Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-. Setelah itu kita perhatikan perkataan para ulama ahlus sunnah tentang musik dan nyanyian yang merupakan seruling-seruling syetan.

Allah -Subhanahu wa ta’ala- berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah …” (QS. Luqman: 6)

Ibnu Katsir -Rahimahullah- berkata dalam menafsiri ayat tersebut: “Allah -Subhanahu wa ta’ala- menyebutkan keadaan orang-orang celaka yang berpaling dari manfaat mendengarkan kalamullah, dan malah mendengarkan seruling-seruling, nyanyian-nyanyian dengan berbagai nada, serta alat-alat musik.”

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud -Radaiallahuanhu- tentang firman Allah -Subhanahu wa ta’ala- ini: “(Lahwul hadits) Itu adalah nyanyian, demi Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia.” Dan dia mengulangi ucapan tersebut hingga tiga kali.

Imam Ibnu Katsir -Rahimahullah- juga menukil perkataan Hasan Bashri -Rahimahullah-: “Ayat ini turun tentang nyanyian dan seruling (alat-alat musik).”

Demikian pula firman Allah -Subhanahu wa ta’ala-:

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ

“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu,…” (QS. Al-Isra`: 64)

Ibnu Katsir -Rahimahullah- berkata: “Mujahid berkata: “(yaitu) dengan permainan dan nyanyian (musik).” Al-Qurthubi -Rahimahullah- berkata: “Dari Ibnu ‘Abbas -Radiallahuanhuma- dan Mujahid -Rahimahullah-: “(yaitu dengan) nyanyian, seruling dan permainan.” Ad-Dhahhak -Rahimahullah- berkata: “(yaitu dengan) suara seruling.”

Adapun di dalam sunnah, maka telah diriwayatkan di dalam Shahih al-Bukhari secara mu’allaq dengan bentuk jazm (pasti, kuat) bahwa Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda:

« لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ قَوْمٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ ، وَالْحَرِيْرَ ، وَالْخَمْرَ ، وَالْمَعَازِفَ … »

“Benar-benar akan ada diantara umatku yang akan menghalalkan perzinahan, sutera (bagi laki-laki), khamar dan alat-alat musik.” (HR. al-Bukhari, menurut al-Hafizh hadits diriwayatkan secara maushul (sambung sanadnya) dari 10 jalur. Hadits ini shahih)

Hadits tersebut menjadi dalil yang jelas akan haramnya alat-alat musik dari beberapa sisi:

1. Sabda beliau [يَسْتَحِلُّوْنَ] ‘mereka menghalalkannya’, maka kalimat tersebut adalah jelas bahwa yang telah disebutkan tersebut, yang diantaranya adalah alat-alat musik diharamkan di dalam syariat yang kemudian dihalalkan oleh orang-orang tersebut.

2. Beliau -Shalallahu alaihi wa salam- menggandengkan penyebutan alat-alat musik dengan perkara-perkara yang diharamkan secara qath’i (pasti), yaitu dengan zina, dan khamar. Seandainya musik tersebut tidak diharamkan maka tidak akan digandengkan bersama keduanya. Maka sungguh benar Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- terhadap apa yang telah beliau sabdakan. Zaman ini telah berputar, yang munkar menjadi ma’fur, dan yang ma’ruf menjadi munkar. Manusia telah menganggap baik apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya -Shalallahu alaihi wa salam- dan mereka mengingkari orang-orang yang mencacatnya.

Ibnu Majah dan Thabrani meriwayatkan dari Sahl bin Sa’d dari Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- bahwa beliau -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda:

“Akan ada pada umatku penenggelaman, semburan (api), dan perubahan bentuk.” Dikatakan kepada beliau: “Kapan, Wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Jika telah tampak (merajalela, dan menyebar) alat-alat musik, para penyanyi wanita, dan telah dianggap halal khamer.” (Dishahihkan oleh al-Albani dalam as-Shahihah (1787))

Imam as-Sya’bi berkata: Dilaknatlah orang yang bernyanyi dan yang mendengarkannya.”

Musik dan nyanyian menurut imam empat

Adapun imam empat madzhab, maka perkataan mereka tentang masalah ini sudah terkenal bagi setiap orang yang memperhatikan kitab-kitab mereka serta meneliti ucapan-ucapan mereka.

Imam Abu Hanifah -Rahimahullah- berkata: “Nyanyian (musik, hukumnya) haram dan termasuk bagian dari dosa-dosa.” Bahkan pengikut-pengikut beliau menjelaskan dengan terang-terangan akan keharaman seluruh alat-alat musik. Secara terang-terangan mereka mereka menyatakan bahwa musik adalah sebuah maksiat yang mewajibkan kefasikan, dan tertolaknya kesaksian karenanya. Bahkan yang lebih nyata dari itu adalah mereka berkata: “Sesungguhnya mendengarkan nyanyian (musik) adalah kefasikan, dan menikmatinya adalah kekufuran.”

Adapun Imam Malik -Rahimahullah-, beliau pernah ditanya tentang nyanyian (musik) yang dirukhshah (dibolehkan, diberi keringanan) oleh penduduk Madinah, maka beliau berkata: “Yang melakukannya disisi kami hanyalah orang-orang fasiq.” Dan beliau berkata: “Jika ada seseorang membeli seorang budak wanita, dan ternyata dia mendapatinya adalah seorang penyanyi, maka boleh baginya untuk mengembalikan budak wanita itu dengan menyebutkan aibnya (karena keahlian nyanyi merupakan aib).”

Adapun Imam Syafi’i -Rahimahullah-, maka para sahabat-sahabatnya yang mengenal madzhabnya secara terang-terangnya menegaskan akan keharaman alat-alat musik tersebut. Bahkan telah mutawatir darinya bahwa dia berkata: “Aku tinggalkan Baghdad (yang padanya terdapat) sebuah perkara yang dibuat-buat oleh orang-orang zindiq, mereka menamakannya dengan at-Taghbir, dengannya mereka memalingkan manusia dari al-qur`an.” At-Taghbir adalah sya’ir-sya’ir yang mengajak untuk zuhud di dunia, dimana salah seorang vokalis melantunkannya sesuai dengan nada-nada pukulan gendang dan semisalnya.

Maka subhanallah, Imam Syafi’i secara terang-terangan menegaskan bahwa orang yang melakukan perbuatan tersebut adalah zindiq, maka bagaimana pula seandainya dia mendengar nyanyian-nyanyian musik di zaman sekarang yang para pembantu-pembantu syetan telah berupaya untuk memperdengarkannya kepada manusia baik ridha atau tidak ridha? Bagaimana seandainya Imam Syafi’i -Rahimahullah- mendengar perbuatan sebagian orang yang menisbahkkan dirinya kepada madzhabnya pada hari ini yang mengatakan bolehnya mendengarnya nyanyian (musik) dan tidak haram? Dan mereka mengatakan bahwa itu adalah syair yang kebaikannya adalah baik, dan keburukannya adalah buruk? Dimana mereka telah mencampur aduk perkara manusia dalam urusan agama mereka, dan seakan-akan mereka datang dari jagat lain dan tidak mengenal nyanyian (musik) pada hari ini.

Imam Syafi’i -Rahimahullah- berkata: “Pemilik budak wanita, jika dia mengumpulkan manusia untuk mendengarkan nyanyian budak tersebut, maka dia adalah orang dungu yang tertolak kesaksiannya.” Dan beliau berkata tentangnya dengan perkataan keras: “Itu adalah perbuatan diyatsah (yaitu perbuatan yang menunjukkan tidak adanya cemburu pada diri seorang laki-laki terhadap kemaksiatan yang dilakukan oleh keluarganya, dan sikap seorang dayyuts diancam oleh Nabi dengan “Tidak akan masuk kedalam sorga.”)

Adapun Imam Ahmad -Rahimahullah-, maka putra beliau yaitu Abdullah bin Ahmad berkata: “Aku pernah bertanya kepada bapakkau tentang nyanyian (musik), maka dia menjawab: “Nyanyian (musik) itu akan menumbuhkan kemunafikan di dalam hati, dan itu tidaklah membuatkan takjub.” Kemudian dia menyebutkan ucapan Imam Malik -Rahimahullah-: “Yang melakukannya di sisi kami hanyalah orang-orang fasiq.”

Maka merekalah Imam empat madzhab, mereka semua telah bersepakat akan keharaman nyanyian (musik), dan menegaskan dengan terang-terangan tentangnya. Bahkan telah dinukil dari para ulama kaum muslimin akan adanya ijma’ atas masalah tersebut. Mudah-mudahan Allah -Subhanahu wa ta’ala- merahmati Ibnul Qayyim saat beliau berkata tentang musik: “Maka mendengarnya adalah haram menurut Imam-Imam Madzhab, dan ulama muslim yang lain, dan tidak pantas bagi orang yang telah mencium aroma ilmu untuk bersikap tawaqquf (diam bimbang) dalam mengharamkan hal tersebut. Minimal, musik itu adalah syi’arnya orang-orang fasiq dan para peminum khamr.

Maka inilah perkataan para imam, yang berbicara dengan hak, seraya memberikan nasihat kepada para hamba-hamba Allah. Seandainya seorang pemerhati memperhatikan nyanyian dan musik yang mengetuk pendengaran-pendengaran mereka, maka pastilah mereka akan memberikan komentar dengan komentar para imam tersebut.

Seorang laki-laki berkata kepada Ibnu ‘Abbas -Radiallahuanhuma-: “Apa yang anda katakan tentang nyanyian (musik)? Apakah halal atau haram?” Maka dia menjawab: “Bagaimana pendapatmu tentang kebenaran dan kebatilah jika keduanya datang pada hari kiamat, maka dimanakah kiranya nyanyian (musik) tersebut?” Maka laki-laki itu menjawab: “Akan berada bersama kebatilan.” Berkatalah Ibnu ‘Abbas -Radiallahuanhuma-: “Pergilah, engkau telah memberikan fatwa kepada dirimu sendiri.”

Inilah dia Ibnu ‘Abbas -Radiallahuanhuma- telah menetapkan hujjah atas lelaki tersebut, dan lelaki tersebut telah memutuskan perkara atas dirinya dengan dirinya sendiri. Itu adalah sebuah perkara yang bisa diketahui dengan fitrah sekalipun kitabullah dan sunnah Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- telah berbicara tentangnya dan sebagian kecilnya sudah mencukupi bagi orang-orang yang adil dalam mencari kebenaran.

Maka ketahuilah –mudah-mudahan Allah -Subhanahu wa ta’ala- memberikan rahmat-Nya kepada kita semua- bahwasannya nyanyian (musik) dan al-Qur`an tidak akan berkumpul didalam dada untuk selamanya. Dikarenakan al-Qur`an melarang mengikuti hawa nafsu dan memerintahkan untuk menjaga kesucian dan keutamaan. Sementara nyanyian (musik) memerintahkan untuk mengikuti hawa nafsu, menggelorakannya dan menggerakkannya kepada segenap keburukan. Sesungguhnya tidaklah anda melihat seseorang yang hidupnya condong kepada nyanyian (musik) kecuali padanya ada kesesatan dari jalan hidayah, dan padanya terdapat keinginan untuk mendengarkan nyanyian (musik) daripada al-Qur`an. Seandainya dia mendengar ayat-ayat al-Qur`an, maka menjadi beratlah atasnya, ayat-ayat tersebut akan berlalu atasnya seakan-akan seperti gunung yang dia melihat padanya terdapat beban berat dan kebosanan. Dan seandainya dia mendengar nyanyian (musik) berjam-jam lamanya, maka jiwanya menjadi tenteram, dan syaitanlah yang menghias-hiasinya. Allah -Subhanahu wa ta’ala- berfirman:

وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

“Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan- akan ada sumbat di kedua telinganya; Maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 7)

Ibnu Katsir -Rahimahullah- berkata: “yaitu, orang yang menerima permainan, kesia-siaan, dan musik-musik tersebut jika dibacakan ayat-ayat Qur`an meerka berpaling dan membelakanginya.”

Mudah-mudahan Allah -Subhanahu wa ta’ala- merahmati Amirul Mukminin Umar ibn Abdil Aziz -Rahimahullah- saat dia menulis kepada pendidik putranya: “Hendaknya pertama kali yang engkau ajarkan adalah dengan menundukkan diri dari permainan-permainan, yang dimulai oleh syaitan dan hasil akhirnya adalah kemurkaan ar-Rahman. Karena sesungguhnya telah sampai kepadaku dari orang-orang yang terpercaya dari ahli ilmu bahwa suara musik-musik, mendengarkan nyanyian dan gemar dengannya akan menumbuhkan kemunafikan didalam dada sebagaimana lumur tumbuh diatas air.”

Maka konsistenlah ­-mudah-mudahan Allah -Subhanahu wa ta’ala- memberikan rahmat-Nya kepada kami dan kepada anda semua- kepada jalan hidayah dan ketaatan. Dan ketahuilah bahwa orang yang memishkan diri dari jalan kaum mukminin maka dia telah mengharuskan penyesalan, kerugian dan kesesatan atas dirinya. Maka jadilah anda semua diatas titian para salaf shalih yang Allah -Subhanahu wa ta’ala- telah memberikan kesaksian kepada mereka semua dengan ridha. Dan janganlah mencari selain mereka, Allah -Subhanahu wa ta’ala- berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115)

Allahlah yang berada dibalik setiap maksud dan tujuan. (AR)

* Majalah Qiblati Volume 3 Edisi 9

http://id.qiblati.com/artikel/fiqh/id/40

Oleh: Shalah ‘Abdul Ma’bud

Tips Memilih Pasangan Hidup

Antara memilih dan dipilih. Begitulah sesungguhnya hidup ini. Hal ini dikarenakan kehidupan manusia di dunia ini sering diwarnai sebuah proses pilihan hidup yang saling susul menyusul, yang selalu hadir dalam dua buah kondisi : Memilih ataukah dipilih! Dan salah satu kenyataan hidup yang tak dapat kita hindari adalah keniscayaan untuk memilih calon suami atau istri sebagai pendamping hidupnya di dunia bahkan hingga di akhirat.

Masalah Pertama Yang Harus Diperhatikan.

Dalam membentuk sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, pemilihan pasangan hidup merupakan pintu gerbang pertama yang harus dilewati secara benar sebelum masuk kepada lembaga keluarga Islami yang sesungguhnya, sehingga perjalanan selanjutnya menjadi lebih mudah dan indah untuk dilalui.

Karena itu ajaran Islam sangat menekankan system pemilihan pasangan hidup yang berpedoman kepada nilai-nilai Islam. Tujuannya agar lelaki yang shalih akan mendapatkan wanita yang shalihah, demikian pula sebaliknya. Allah berfirman:

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)” (QS. An Nuur: 26).

Mengapa Kita Harus Selektif?

Kecermatan memilih pasangan hidup sangat menentukan keberhasilan perjalanan seorang hamba di dunia dan akhirat. Apalagi mengingat pernikahan merupakan bentuk penyatuan dari dua lawan jenis yang berbeda dalam banyak hal, keduanya tentu memiliki kebaikan dan keburukan yang tingkatannya juga berbeda satu sama lain.

Adalah menjadi suatu hak dan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah untuk mencari pendamping yang benar-benar akan membuka pintu kebaikan buat dirinya dan mengundang keridhaan dari Rabb-nya dan hal ini hanya dapat dicapai bila diawali proses pemilihan calon pasangan hidup yang selektif, yang dilandasi oleh semangat Islami sebagai dasar terjadinya suatu pernikahan. Ingat! Setelah pernikahan, tidak ada pilihan lagi buat kita, kecuali dua hal: mendapatkan ketenangan yang membahagiakan rumah tangga atau memperoleh kesengsaraan yang membinasakan. Na’udzubillahi min dzaalik!

Akibat Salah Memilih

Akibat salah dalam memilih pasangan hidup, banyak pasangan suami istri yang menghadapi kesulitan dan hidupnya malah tidak bahagia, bahkan perceraian dan gonta ganti pasangan menjadi sesuatu yang sudah biasa dilakukan. Dewasa ini, begitu banyak kasus pertikaian di dalam sebuah keluarga, dari sekedar konflik yang berbentuk pertengkaran mulut sampai dengan penganiayaan fisik bahkan pembunuhan, yang disebabkan oleh kesalahan langkah awal dalam membentuk rumah tangga.

Iklim pergaulan di masyarakat kita yang memang cenderung permisif dan belum Islami, merupakan penyebab utama yang melahirkan pernikahan sebatas dorongan nafsu semata. Tolak ukur pencarian pasangan hidup jarang yang berorientasi pada nilai-nilai agama. Melainkan seringkali hanya sebatas keindahan fisik, melimpahnya materi dan mulianya status di masyarakat, atau bahkan hanya karena sudah terlanjur cinta yang telah menyebabkan mata hati menjadi buta terhadap kebaikan dan keburukan orang yang dicinta.

Apabila pernikahan terjadi hanya lantaran dorongan nafsu semacam itu, maka wajarlah jika banyak pasangan yang bertikai mereasa kesulitan menyelesaikan permasalahan rumah tangga mereka secara Islami, lantaran proses pernikahan mereka terjadi begitu saja secara naluriah, tanpa ada landasan nilai-nilai ke-Islaman yang mengawali. Lalu bagaimana mungkin akan kembali kepada Qur’an dan Sunnah, sedangkan mereka dahulunya tidak berangkat dari keduanya? Maka memilih pasangan hidup atas dasar nilai-nilai Islam adalah sikap yang penting, dan berhati-hati dalam memilih pasangan hidup menjadi suatu keharusan bagi kita, camkanlah nasehat Luqman Al Hakim berikut ini:

“Wahai anakku, takutlah terhadap wanita jahat karena dia membuat engkau beruban sebelum masanya. Dan takutlah wanita yang tidak baik karena mereka mengajak kamu kepada yang tidak baik, dan hendaklah kamu berhati-hati mencari yang baik dari mereka.”

(Begitu pula untuk Wanita berhati-hatilah dalam mencari pasangan)

Siapa Yang Harus Kita Pilih?

Islam telah mengajarkan dengan cermat atas dasar apa kita harus memilih pasangan hidup kita:

“Dinikahi wanita atas dasar empat perkara: karena hartanya, karena kecantikannya, karena keturunannya, dan k arena agamanya. Barangsiapa yang memilih agamanya, maka beruntunglah ia.” (HR. al Bukhari dan Muslim)

Maka jelaslah bagi kita bahwa ada empat dasar dalam menentukan siapa yang layak untuk kita pilih menjadi pasangan hidup kita, yakhi kekayaan, keelokan, keturunan serta akhlak dan agama. Dan di antara semuanya, maka akhlak dan agama menjadi jaminan kedamaian dan kebahagiaan, sebaliknya pengabaian bahkan pengingkaran terhadap masalah ini akan menyebabkan fitnah dan kerusakan yang besar bagi para pelakunya. Alangkah indahnya memang bila kesemuanya terkumpul pada diri seseorang hamba Allah.

Pilih Yang Taqwa, Baru Yang Lain

Yang pertama adalah perihal kekayaan

Hal ini memang utama, bahkan Rasullah saw adalah seorang dermawan yang paling banyak sedekahnya, tetapi pernikahan bukanlah sekedar transaksi perdagangan semata, bahkan Allah mengancam mereka yang menikah semata-mata karena mengharapkan kekayaan dengan kefakiran:

”Barangsiapa yang menikahi wanita karena hartanya, Allah tidak akan menambahkannya kecuali kefakiran..” (HR. Ibnu Hibban).

Yang kedua adalah keelokan

Hal ini juga memang boleh-boleh saja dan menyukai keelokan memang fitrah manusia, bahkan Allah sendiri indah dan menyukai keindahan, tetapi pernikahan pun bukan sekedar kesenangan mata belaka. Sesungguhnya keelokan merupakan karunia Allah kepada hamba-Nya, yang kelak pasti akan diambil-Nya secara perlahan dengan bertambahnya usia sang hamba. Karena memang tidak ada keelokan yang berkekalan di dunia yang fana ini.

“Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, sebab kecantikan itu akan lenyap dan janganlah kamu menikahi mereka karena hartanya, sebab harta itu akan membuat dia sombong. Akan tetapi nikahilah mereka karena agamanya, sebab seorang budak wanita yang hitam dan beragama itu lebih utama.” (HR. Ibnu Majah).

Dan ketiga adalah keturunan,

Demikian pula hal ini juga sesuatu yang utama, tetapi pernikahan pun bukan sekedar kebanggaan silsilah yang justru bias membawa kepada penyakit ‘ashobiyah’. Bahkan Allah mengancam mereka yang menikahi seseorang hanya untuk mengejar keturunan, dengan memberikan kerendahan bukan kemuliaan.

“Barangsiapa yang menikahi wanita karena keturunannya, Allah tidak akan menambahkan kecuali kerendahan…”(HR. Ibnu Hibban)

Terakhir yang keempat adalah akhlak dan agama,

Inilah faktor yang paling utama, yang tidak boleh tidak, harus ada pada calon pasangan hidup kita. Semakin baik akhlak dan agama seseorang, maka seakan-akan semakin jelaslah kebahagiaan sebuah rumah tangga telah terbentang dihadapan kita. Akhlak dan agama disini bukanlah sebatas ilmu dan retorika atau banyaknya hapalan di kepala, melainkan mencakup ucapan dan perbuatan sebagai cerminan dari hati seseorang yang telah melekat dalam kepribadiannya, dan inilah TAQWA yang sebenarnya!.

Betapa beruntungnya menikah dengan hamba yang bertaqwa, karena ia pandai menghormati pasangan hidupnya dan sangat berhati-hati dari menzhaliminya, sebagaimana jawaban Hasan bin Ali ketika ada seseorang yang bertanya. “Aku mempunyai anak gadis, menurutmu kepada siapa aku harus menikahkannya?” Maka Hasan menjawab.” Nikahkanlah ia dengan lelaki yang bertaqwa kepada Allah. Jika lelaki itu mencintainya, maka ia akan menghormatinya, dan jika marah maka ia tidak akan menzhaliminya.

Dan sebaliknya penolakan terhadap lelaki atau wanita yang bertaqwa, bagaikan menolak kebaikan dan menggantinya dengan kerusakan:

Simaklah kedua hadits berikut ini:

: “Jika datang seorang laki-laki kepadamu (untuk melamar), sedang kau tahu ia baik akhlak dan agamanya lalu kau tolak, maka jadilah fitnah buatmu dan kerusakan yang besar,” (HR. Ibnu Majah)

: “Apabila telah dating kepadamu seorang wanita yang agama dan akhlaknya baik maka nikahilah dia. Jika engkau menikahi wanita bukan atas dasar agama dan akhlak, maka wanita itu akan menjadi fitnah dan menimbulkan kerusakan luas.”(HR. At Tirmidzi).

Akhirnya pernikahan yang ideal sesungguhnya merupakan keseimbangan dari semua faktor tersebut, dengan akhlak dan agama sebagai parameter yang paling penting, karena itu dalam memilih pasangan hidup, jangan sampai niatan kita hanya sekedar mencari kecantikan atau keturunan atau harta saja dengan meninggalkan criteria taqwa, sehingga tidak ada keberkahan yang akan kita dapatkan dalam rumah tangga kita kelak.

“Barangsiapa yang menikahi wanita karena hartanya, Allah tidak akan menambahkannya kecuali kafakiran. Barangsiapa yang mengawini wanita karena untuk memejamkan pandangannya, menjaga kemaluannya serta menjalin tali persaudaraan, niscaya Allah memberkahinya.” (HR. Ibnu Hibban).

Mempersempit Pilihan Untuk Keutamaan

Tidak jarang seseorang dihadapkan pada sekian banyak pilihan pasangan hidup yang dari segi akhlak dan agama sama dan setaraf, apalagi masalah di dalam ketaqwaan seseorang memang sulit untuk dideteksi dalam waktu yang singkat. Maka untuk mencari sebuah keutamaan, pilihan kadang memang perlu dipersempit, sebab semakin banyak pilihan maka akan semakin sulit bagi kita untuk memilih yang terbaik. Dan menurut kacamata agama yang tentunya selalu selaras dengan fitrah dan naluriah seorang insan. Ada beberapa keutamaan yang bias dipertimbangkan dalam memilih pasangan hidup.

1. Pilihan yang sekufu

“Pilihlah wanita-wanita yang akan melahirkan anak-anakmu dan nikahilah wanita yang sekufu (sederajat) dan nikahlah dengan mereka.”(HR. Ibnu Majah, Al Hakim, dan Al Baihaqi)

Al Kafa’ah merupakan masalah kesesuaian dan kesamaan antara pasangan pernikahan yang dianggap paling mendekati, seperti pertimbangan akan masalah: usia, garis keturunan, kehormatan, profesi, atau tingkat pendidikan. Para ulama menyarankan agar laki-laki idealnya menikah dengan wanita yang setingkat dengannya atau dibawahnya, sedangkan seorang wanita sebaiknya menikah dengan laki-laki yang mempunyai tingkatan yang sama atau di atasnya.

Tetapi penting untuk dipahami, bahwa tingkat kesamaan sosial ini bukanlah merupakan syarat mutlak dalam sebuah proses pernikahan, karena Islam sendiri adalah agama tanpa kelas, yang menyamakan kedudukan semua hambanya, terkecuali dari ketakwaanya.

Kalaupun ia menjadi sebuah pertimbangan, adalah semata-mata sebagai tindakan kehati-hatian, agar kelak tidak ada penyesalan dikemudian hari yang akhirnya bias lebih menyakitkan, karena sesungguhnya hati manusia itu memang sering labil dan mudah berubah-ubah. Dan masalah ini, sebenarnya merupakan tata cara kebijaksanaan duniawi yang masih bisa disepakati bila ada persetujuan diantara kedua belah pihak.

2. Memilih yang penuh kasih sayang dan subur

“Nikahilah wanita-wanita yang penuh kasih dan banyak memberikan keturunan (subur) sebab aku akan bangga dengan banyaknya ummat dihari kiamat kelak” (HR. Ahmad).

Hamba yang penuh kasih dan mengasihi adalah hamba yang memiliki nada perasaan (afek) yang halus serta emosi yang terkendali. Kita dapat mengenali apakah seseorang termasuk kriteria ini melalui ucapan, perbuatan ataupun tatapan mata, baik dikala ia gembira maupun kecewa, yang kesemuanya itu dapat memberikan gambaran tentang bagaimana kepribadian dan isi hati yang dimilikinya. Apakah dipenuhi kelembutan dan kasih sayang? Ataukah dipenuhi kekasaran , kebencian dan kepalsuan.

Sementara itu mereka secara mudahnya dapat kita ketahui dari berapa jumlah saudara atau keluarganya yang terdekat, atau dari jenis penyakit penghambat keturunan yang diderita dirinya ataupun saudaranya dan keluarganya yang terdekat.

3. Memilih kerabat yang jauh

Nasihat Rasulullah saw. “Janganlah kalian menikahi kerabat dekat, sebab dapat berakibat melahirkan keturunan yang lemah akal dan fisik.” Dan selain untuk menjaga kualitas keturunan dari penyakit bawaan, menikahi mereka yang berasal jauh dari keluarga kita akan menambah ikatan kekerabatan dengan orang lain, serta memberikan kebahagiaan sendiri bila harus berpergian jauh untuk saling silaturahim.

4. Memilih para gadis

“Nikahilah para gadis sebab ia lebih lembut mulutnya, lebih lengkap rahimnya, dan tidak berfikir untuk menyeleweng, serta rela dengan apa yang ada di tanganmu.” (HR. Ibnu Majah. Al Baihaqi dari Uwaimir bin Saidah)

Pernikahan dengan yang masih gadis lebih utama daripada janda, karena dapat membuat hubungan lebih erat dan menyatu, mereka lebih mudah digoda dan Bercanda serta bersenang-senang, lebih setia dan menerima, serta lebih sedikit beban mental dan psikologisnya bagi kita. Semua ini mempunyai kesan dan kenikmatan tersendiri di dalam menambah keindahan rumah tangga.

Mempersempit pilihan bukan mempersulit pilihan

Jadi sesungguhnya tidak ada larangan untuk mempersempit pilihan kita dalam rangkan meraih sebuah ketentraman, selama pijakannya tetap berpedoman kepada nilai-nilai Islam. Walaupun demikian, keinginan ini bukan suatu kemutlakan yang harus dilakukan apalagi dipaksakan.

Dalam kondisi-kondisi tertentu, menikahi seorang yang dari satu sisi dianggap tidak sekufu, atau yang kurang kesuburannya, atau yang masaih memiliki hubungan kerabat dekat, atau seorang janda, bukanlah suatu perbuatan yang bernilai minus di dalam Islam, bahkan bisa jadi lebih utama, bila ada alas an yang kuat untuk dilakukan.

Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa mempersempit pilihan ini tidaklah sama dengan mempersulit pilihan. Jika mempersempit pilihan berdasarkan anjuran agama demi keutamaan, kepuasan dan kesyukuran seorang hamba atas nikmat Allah yang sangat banyak, maka mempersulit pilihan merupakan anjuran hawa nafsu demi keangkuhan, gengsi dan kepuasan duniawi belaka. Jadi sangat jauh berbeda diantara keduanya!.